Celotehan tentang Indonesia dan Dunia
Jumat, 8 Februari, 2008 oleh Michael Putrawenas
Apa kata dunia tentang Indonesia? Bicara tentang Indonesia dan dunia tidak akan selesai dalam sepuluh halaman, seratus halaman. Tulisan atau lebih tepatnya, “celotehan” yang dituliskan ini hanya ingin bercerita sedikit tentang beberapa aspek pilihan yang mungkin kurang ditampilkan dalam diskusi publik.
Celotehan ini dibagi menjadi 4 bagian: dunia dan globalisasi di mata Indonesia termasuk didalamnya sedikit cerita tentang “brain drain vs. brain circulation”, kemudian sebaliknya bagaimana dunia melihat Indonesia, dilanjutkan dengan tinjauan regional Asia, dan yang paling penting ditutup dengan “apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia-manusia Indonesia”.
1. Dunia dan Globalisasi di Mata Indonesia
Sebagai budaya bangsa, pada umumnya manusia Indonesia bersifat introvert (Hofstede, 1983) – dan secara kolektif sifat ini cenderung menyebabkan Indonesia tidak terlalu ekspansionist dibandingkan bangsa-bangsa yang berbudaya lebih ekstrovert. Meskipun perlu dicatat bahwa pengalaman sejarah Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram mungkin akan berkata lain. Kerangka berpikir melalui pendekatan budaya ini bisa membantu dalam memahami mengapa dalam era globalisasi ini, Indonesia tampak kurang “keluar” tetapi senantiasa berkutat dengan segala permasalahan dan dampak globalisasi di dalam negeri.
Ketika keran globalisasi semakin dibuka, tidak sedikit pemikir bangsa ini menyuarakan kekhawatirannya terhadap kebelumsiapan masyarakat dan terutama industri nasional untuk berkompetisi di pasar global. Arus produk luar negeri yang semakin merajalela disinyalir akan jauh lebih dipilih oleh konsumen domestik ketimbang produk dalam negeri – demikian pula halnya produk Indonesia akan kalah bersaing di pasar internasional.
Kekhawatiran ini sangat valid adanya dan memang perlu diwaspadai. Pertanyaannya adalah, usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk menyiapkan masyarakat dan industri nasional menghadapi globalisasi? Globalisasi tidak dapat dihindari, tetapi sebagai sebuah negara berdaulat, Indonesia sebagaimana layaknya negara lain dapat mengelola pengaruh globalisasi terhadap negaranya.
Jangan sampai kita terus terjebak dalam ketakutan, pembahasan wacana, demonstrasi anti-globalisasi, dan hanya melihat ancaman gurita globalisasi – sementara negara-negara tetangga sambil berdiplomasi untuk memungkinkan proteksi produk dalam negeri juga sambil membangun habis-habisan kapasitas industri dan pengetahuan domestik.
Cina dan India adalah dua contoh klasik dimana mereka sudah melalui tahap-tahapan tersebut dan kini menuai hasilnya – dengan memanfaatkan arus globalisasi. Kedua negara tersebut sempat dan masih melakukan praktek proteksi tetapi membangun pesat kapasitas mereka sendiri dan pada akhirnya meraih keuntungan besar dari pasar bebas dunia. Keunggulan kedua negara Asia itu tidak hanya sebatas pada harga murah, tetapi sudah merambah ke industri dengan added value yang lebih tinggi seperti teknologi informasi, jasa profesional, permodalan, dan seterusnya.
Brain drain vs. Brain circulation
Selain komoditas, globalisasi juga memungkinkan terjadinya transfer ilmu dan pengetahuan melalui migrasi penduduk. Ribuan jika tidak jutaan manusia Indonesi telah dan sedang dididik di luar negeri. Sempat pula terangkat kekhawatiran tentang “brain drain” dimana ditakutkan putra-putri bangsa yang berbakat akan tinggal di luar negeri dan tidak berkontribusi dalam pembangunan negerinya sendiri. Padahal jika kita lihat India dan Cina – lagi-lagi dua raksasa Asia yang menjadi contoh, cara mereka menyikapi fenomena diaspora penduduknya diluar negeri sangat berbeda.
Dalam pidato kenegaraan, Presiden India justru malah menyemangati generasi muda India untuk menuntut ilmu dan pengalaman di luar negeri – dengan demikian India pun berkontribusi kepada perkembangan dunia dan otomatis berkontribusi terhadap perkembangan India sendiri. Pengalaman India memang mengajarkan banyak. Bangalore kini menjadi salah satu pusat pengembangan piranti lunak di Asia bahkan dunia karena imigran India di Silicon Valley yang “liburan” pulang kampung ke India sedikit demi sedikit membangun perusahaan piranti lunak di Bangalore. Mereka menyediakan modal usaha dan juga modal ilmu bagi komunitas lokal – tanpa harus pindah kembali ke India. Sementara itu, pemerintah Cina bahkan sudah membangun beberapa pusat penelitian di Cina dan khusus merekrut warga negara Cina yang berprestasi di luar negeri dengan imbalan yang sepadan jika mereka bekerja di luar negeri. Modal dari diaspora warga negara Cina di luar negeri pun mengalir deras masuk kembali ke negara itu (Saxenian, 2005).
2. Indonesia di Mata Dunia: Raksasa yang Belum Kelihatan
“Indonesia’s mix of resource, base, attractive demographics, vibrant culture and domestic demand potential have mostly gone unsung, not least by a government so focused on domestic issues and local politics. In short, Indonesia and the rest of the world could benefit much from knowing each other better.” –Philip Bowring (Bowring, 2007)
Saluran-saluran berita dunia dalam beberapa tahun belakangan berkontribusi besar dalam mengenalkan Indonesia ke dunia internasional. Headlines yang paling mencolok antara lain: bom Bali dan lanjutannya, musibah tsunami, rangkaian kecelakaan transportasi, asap pembakaran hutan, pembabatan hutan, dan sejenisnya sampai paling akhir liputan seputar konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim di Bali. Jelas, jika headlines macam itu yang banyak diingat dunia internasional maka mereka jauh dari mendapatkan gambaran yang utuh tentang Indonesia.
Ini berarti, kita sebagai warga Indonesia yang peduli perlu lebih (pro)aktif dalam mengkomunikasikan Indonesia yang lebih berimbang – paling tidak dalam sektor dan jaringan internasional tempat kita berkarya.
Paling tidak ada beberapa fakta yang bisa kita “leverage” untuk mengkomunikasikan Indonesia yang sering dilupakan orang –termasuk kita sendiri, warga Indonesia. Pertama, fakta bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Pemilu tahun 2004 banyak dipuji dan mendapat acungan jempol dari badan-badan internasional, media-media asing, dan negara-negara lain sebagai Pemilu yang berlangsung damai, adil, dan relatif lancar – sebuah prestasi yang sangat patut dibanggakan, dan terlebih lagi dipelihara.
Kedua, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar. Terutama dalam era dimana clash of civilizations dimana Islam menjadi sorotan (Huntington, 1993) dan seringkali disalahkaprahkan. Disinilah peran Indonesia menunjukkan sisi positif dari interpretasi Islam dan sekaligus sebagai sebuah kekuatan di Asia. Lebih dari 82% penduduk Republik ini terdaftar sebagai beragama Islam (Departemen Agama, 2003), maka itu sudah 0,82 x 237 juta jiwa atau hampir 200 juta umat Muslim Indonesia. Ini hampir setara dengan populasi Arab Saudi (24,9 juta), Iran (71,3 juta), Iraq (29,4 juta), Yordania (6,2 juta), dan Mesir (77,5 juta) digabungkan (209,3 juta) – populasi kelima negara ini pun tidak 100% memeluk agama Islam. Jadi, jika didasarkan pada jumlah umat, negara mana sih di muka bumi ciptaan Tuhan ini yang seharusnya layak memainkan “kartu” diplomasi Islam?
Ketiga, Indonesia sebagai negara dengan 237 juta tenaga kerja dan konsumen. Keistimewaannya adalah, 237 juta jiwa ini berbicara bahasa yang sama, membayar dan dibayar dengan mata uang yang sama, berada dalam satu sistem hukum (yang masih sangat perlu dibenahi), dan bebas bergerak kemanapun didalam area Nusnatara yang hampir 2 juta kilometer persegi. Ini adalah karakteristik-karakteristik (satu mata uang, satu sistem hukum, dan kebebasan bergerak) yang membutuhkan Uni Eropa berpuluhan tahun untuk mencapainya – dan bahkan ada yang belum bisa dicapai (satu bahasa).
3. Indonesia dan Kekuatan Regional Asia
“The Indonesians have a better way of expressing this nuanced sense of oneness among Asians: bhinnika tunggal ika – ‘unity in diversity’, a vision of unity based on shared and inclusive humanistic ideals, not imposed by political coercion.” –Surin Pitsuwan, Sekjen ASEAN (The Economist, 2007).
Meskipun kita menganut asas politik luar negeri “bebas dan aktif”, akan tetapi secara geopolitik Indonesia harus berperan lebih aktif – bahkan ikut memimpin negara-negara Asia (Tenggara). Seiring jatuhnya Uni Soviet dan kebangkitan ekonomi Asia pasca-krisis, Pan-Asian thinking tumbuh kembali dalam percaturan politik internasional, dan semakin menguat – lagi-lagi terutama karena Cina dan India. Tetapi kedua raksasa tersebut juga disusul oleh negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan.
Sebagai regio, negara-negara Asia menghadapi common themes permasalahan yang mirip. Tiga agenda utama Asia adalah seputar kemiskinan, konflik bersenjata, dan pembangunan berkesinambungan (sustainable development). Sementara itu potensi-potensi utama Asia adalah pertumbuhan ekonomi, populasi (=tenaga kerja produktif dan potensi konsumen), dan pertumbuhan “knowledge society”.
Dalam membina dan turut memimpin dalam percaturan Asia, kita perlu berpikir lebih dari pola hubungan internasional yang konvensional alias tidak hanya dalam konteks diplomasi resmi; tetapi termasuk hubungan internasional antar perusahaan, institusi, partai politik, lembaga pendidikan, dan seterusnya – terutama dengan Cina dan India sebagai Asian Powerhouses perlu dipertimbangkan secara serius.
4. Langkah Maju: Pemikiran dan Aksi Lintas-Sektoral
Lantas, dengan keadaan seperti sekarang ini bangsa Indonesia bisa apa? Pertanyaan seperti ini seringkali mengundang sikap skeptis dan pesimis yang berlebihan. Jawabannya padahal ada banyak! Setiap manusia Indonesia yang produktif berkarya di dalam sebuah sektor – entah itu birokrasi, swasta (industri/jasa), lembaga swadaya masyarakat, media, akademisi dan seterusnya.
Setiap kita adalah diplomat ke dalam dan keluar. Di bagian „Indonesia di Mata Dunia” sudah disinggung bahwa salah satu yang bisa kita lakukan adalah mengkomunikasikan Indonesia (cf. Putrawenas, 2006). Bagi yang mau dan mampu, bijak kiranya jika selain kegigihan berjuang di dalam sektornya sendiri juga meluangkan waktu dan pemikiran untuk memahami interaksi antar sektor serta membina jaringan dengan sektor-sektor lain.
Ribuan diskusi dengan beragam topik yang digelar setiap hari di seantero Nusantara akan percuma dan hanya buang waktu jika pelajaran dan pembelajaran dari diskusi-diskusi tersebut tidak ada nilai tambahnya dalam karya dan pemikiran kita sehari-hari.
0 coment�rios:
Posting Komentar
thanks ya sudah mengunjungi blog saya ;)