“Mas, pesan satu americano dan satu caffe latte ya!”
“Ada tambahan lain mas?”
“Mungkin dengan roti
bakar saja satu ya”.
“ Baik..”
Mataku tertuju pada
wanita disampingnya, wanita berkerudung merah itu. Sepertinya aku mengenalinya, wajah yang tak lagi asing denganku. Aku bergegas mempersiapkan
pesanan meja bernomor 20 itu. Meja yang juga penuh berjuta kenangan dengan
seseorang.
“Maaf mas,ternyata americano nya sedang kosong. Mau diganti dengan yang lain?”
Sementara ia mengganti
pilihannya. Pandanganku tak berubah, menatapi wanita itu yang menunduk dan
mengarah pada blackberry yang dia genggam. Dia tidak menatap, semua
pilihannya ia serahkan kepada lelaki berjambang itu. Aku berharap dia menatapku
dan meyakinkanku apa aku mengenalinya.
“ Flat White saja deh
Mas!”
“ Untuk kopinya, mau Latte
Art / digambarkan dengan apa?”
“whaah.. teriaknya!”
“Apa saja deh mas. Kamu
mau apa ma?”
Lelaki itu menyebutkan
namanya. Ma.. hanya menyebutkan potongan namanya..
“Apa saja deh!”
“Baik. Ditunggu ya Mas
dan Mbak”.
Aku terus ingin tahu
tentang dia. Flat White pesanan lelaki itu aku lukis wanita berkerudung dengan
wajah tersenyum. Aku tak melihat kehangatan diantara mereka. Terdiam dan sibuk
dengan Blackberry digenggamanya. Ntah apa yang sedang terjadi dengan mereka.
Terlihat wanita
berkerudung merah itu mengangkat kepalanya dan kemudian berjalan mengarah ke
toilet. Aku tidak bisa mengenalinya dengan jelas.
“ Astaga aku lupa! Kacamataku
tertinggal. “
“Aku, tetap tidak bisa
melihatnya dengan jelas”.
Perlahan kukerutkan
mataku dalam, kuusap kedua mataku. Lalu.. Dia menghilang. dan aku terlambat.
“Flat Whitenya dan Roti
Bakarnya, Mas. Caffe Lattenya sebentar ya”.
“ OK”
Aku sengaja menahan
minuman untuknya. Aku mengusap mataku dalam, mengerutkan, menutup dan membuka
mata, agar aku bisa mengenalinya. Aku melihatnya cukup jelas. Kemudian aku
melukiskan gambar di minuman yang dipesannya.
“ Mbak, ini Caffe Latte
nya ya. Terima Kasih”.
“ Terima Kasih”.
Sampai saat itu dia
belum tersadar. Aku melukiskan wajah senyum terbalik dan kutuliskan "Sorry”.
Kemudian dia meneggakkan
badannya dan menatap ke arahku. Salma maafkan aku atas kesalahanku
meninggalkanmu saat itu, dalam hatiku. Aku tak pernah mengucapkan apapun
kepadamu. Meja yang kamu duduki saat ini penuh dengan kenangan pahit bersamaku.
Kamu menunduk tak mau melihat angka yang terpasang di meja, serta lingkungan
sekitarnya. Aku menyesal.
Lalu kamu menatapku dan menganggukan
kepalamu. Aku tak begitu paham maksud anggukkanmu. Tapi aku tahu mungkin saat
ini kenangan itu tak bisa hilang. Dan aku rela jika minuman itu kamu habiskan,
karena kamu tak memaafkanku. Walau aku sebagai pelukis kopi, tapi aku sudah
melukiskan kata maaf dalam kopi favoritmu, Salma.
-@dudepanai-
0 coment�rios:
Posting Komentar
thanks ya sudah mengunjungi blog saya ;)