Cerpen: Hanya Isyarat?

Aku duduk termenung disudut jendela rumah yang berhadapan dengan taman, sore itu. Aku menikmati semua keindahan yang diberikan Tuhan. Aku masih berpikir, kenapa aku harus selalu mengeluh disaat semua orang bisa merasakan keindahan yang sama? Aku membuka lembar demi lembar buku diary yang bertahun-tahun aku tulis. Tersenyum, tertawa kecil atau bahkan sempat meneteskan air mata. Apa yang aku tulis sebuah proses perjalanan hidup yang masih belum tahu akan dibawa kemana dan berhenti di mana. Aku tidak bisa membiarkan cerita ini mengalir begitu saja, aku mengambil sebuah headphone kesayangan dan ku pasangkan di telinga sambil memutar lagu kesayangan. Tuhan, perjalanan ini memang tak selalu indah tapi dengan aku bercerita aku bisa membiarkan semua yang tertutup menjadi terbuka untukMu. Tuhan, ini terlalu sia-sia seandainya aku biarkan semuanya berlalu begitu saja. Aku menggoyangkan kedua kaki lalu aku menatap sebuah kolam ikan berserta suara gemercik air yang mengalir. Ikan itu sepertinya tak pernah bersedih, dia selalu berenang kesana kemari sambil berbincang-bincang dengan ikan yang lain. Aku mencoba berbicara padanya, aku tak perduli orang memandangku seperti apa. Aku bercerita dan mencoba menyentuh badannya tapi selalu gagal, langkah terlalu cepat. Sesekali ikan itu menatapku, mungkin dia tidak mengerti apa yang aku bicarakan. Mungkin saja, Tapi Tuhan tahu.

Aku kembali duduk diatas jendela rumah. Menatap lurus ke arah taman. Sesekali aku melihat senyum, senyum yang indah yang membawaku terhanyut suka cita. Senyumnya tak pernah hilang sampai saat ini. Aku menuliskan semua perjalanan ini dalam diary yang selalu aku bawa. Diary? mengapa tak bicara saja langsung pada Tuhan? Aku ingin mengenangnya, mungkin sesekali membayangkannya. Sudut jendela ini memang tempat yang paling indah yang saat ini aku rasakan. Aku melihat seseorang melambaikan tangannya dan berbalik arah. Aku terbangun... Tuhan apakah ini hanya mimpi atau hanya sebuah isyarat? 

gambar: freepik

@dudepanai