Pagi ini aku bahagia sekali. Sudah 27 tahun aku menikah dengan istriku,
Dena. Tidak terasa waktu semakin lama semakin cepat. Kali ini semua terasa
sangat istimewa. Tepat di hari ini, anakku satu-satunya Rahma dilamar kekasihnya.
Kekasih yang selama 6 tahun ini bersamanya. Lelaki yang dikenalnya saat duduk
di bangku kuliah. Selama ini aku mengenal Fajar sebagai laki-laki yang baik,
yang bisa membuat Rahma bahagia dan melindunginya saat aku tak berada di
sampingnya. Aku berharap selamanya. Mungkin bagiku ini adalah hal yang paling
berat. Melepaskan anak perempuan yang selama ini tumbuh bersama aku dan
istriku. Aku tahu bagi seorang ayah ini takkan pernah mudah, takkan ada lagi
senyum Rahma yang ku lihat setiap kali aku akan berangkat kerja. Rasanya ini
terdengar seperti berlebihan, karena Rahma pasti akan selalu datang ke rumah
ini, tapi tak setiap hari. Fajar saat ini bekerja di luar kota dan Rahma akan
mengikutinya. Aku kadang berpikir apakah aku berlebihan? Sebagai seorang ayah harusnya
aku bahagia, bukan sedih karena anaknya akan dipinang laki-laki pilihannya.
Rahma adalah seorang gadis manis yang tumbuh dari seorang akuntan di
perusahan swasta. Aku bersyukur dengan kehidupan yang serba berkecukupan aku
bisa menyekolahkannya sampai kini dia menjadi seorang arsitek lulusan terbaik
di kampusnya. Dia tidak pernah mengeluh, tidak pernah meminta banyak, dia hanya
memintaku untuk tetap tenang dan selalu sehat. Itu mengapa aku begitu
menyayanginya. Sudah 25 tahun gadis kecilku kini. Gadis yang selalu tersenyum
disaat keadaan apapun.
“Rahma, ayah bahagia memilikimu.” “Rahma juga
ayah. Memiliki ayah hebat ayah itu
rahasia rahma selalu bahagia, yah”.
Ini adalah anugerah Tuhan yang tak pernah aku
lupakan, memiliki Rahma. Sejak dulu aku berjuang untuk selalu bisa membuatnya
bahagia. Yang selalu aku ingat sampai sekarang setelah umur dua tahun dia
memintaku untuk merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Dia tidak memintaku
untuk merayakan bersama orang-orang atau teman-temannya. Dia menyiapkan sendiri
kue dan lilinnya dan meminta kami untuk duduk bersama meniupkan lilin. Betapa
aku mencintainya Tuhan. Itu masih kami lakukan sampai ulang tahun ke-25.
“Yah, kita
tidak perlu mengajak siapapun dihari ulang tahun Rahma yang ke-17.
Aku hanya
ingin kita duduk bertiga saja, berdoa bersama dan meniupkannya
bersama.
Bahagia itu sederhana kok yah, bun. Memilikimu adalah harta terbesar
Rahma.”
Dan yang selalu aku ingat ketika dia dan ibunya
bercanda lalu ibunya sedikit ngambek, dia datang tidur dipangkuanku.
“Yah,
bunda marah tuh gara-gara aku bercanda dan ledekin bunda. Bantu aku ya
yah supaya bunda gak ngambek lagi.”
Begitulah setiap saat ketika bercanda dan ibunya
lagi sensitif lalu ngambek, akulah menjadi penengah mereka. Rasanya kebersamaan
ini yang mungkin lambat laun akan hilang dalam kehidupanku. Seandainya saja
Fajar tidak bekerja di luar kota, mungkin kebersamaan ini takkan memudar. Aku
selalu takut, takut kehilanganmu.
Ini hari dimana kamu dilamar kekasihmu. Ayah sedih
nak. Perasaan ayah bercampur aduk. Hari ini ayah harus memutuskan apakah ayah
menerima pinangan kekasihmu.
“Yah, ayah
itu tidak boleh sedih. Rahma akan baik-baik saja. Doakan saja supaya
aku bisa
sekuat ayah dan bunda menjalani rumah tangga ini. Aku hanya minta
restu dan
doa dari ayah dan bunda”.
Mungkin kata-kata yang selalu membuatku tegar untuk
dapat menjalankan semua acaranya sampai akhir. Satu demi satu acara berlalu.
Akhirnya ku menerima pinangan Fajar. Rahma menunduk dan meneteskan air mata
kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku dan mengenggam tanganku erat.
“Terima
kasih banyak yah....”
Keadaan ini yang tidak mau aku bayangkan. Aku hanya
membiarkan waktu yang akan menunjukkan dan melewatinya. Kami memutuskan untuk
mengambil tanggal pernikahan yang akan dilangsungkan dua bulan setelah lamaran
ini. Rahma dan Fajar sudah mempersiapkan dengan baik setiap detail
pernikahannya. Aku hanya menunggu apa yang dibutuhkan Rahma. Katanya aku tidak
usah memikirkan semuanya. Biarkan saja dia yang mempersiapkannya, aku hanya
memberikan beberapa saran-saran. Aku
merasa dia merasa begitu bahagia.
Setiap hari Dena istriku menangis. Setiap aku
tanya,dia hanya menjawab.
“Aku hanya sedih, waktu begitu
cepat berlalu... Tanpa terasa Rahma tumbuh
menjadi perempuan, gadis yang
begitu mempesona.” Dia memelukku erat.
“Aku tahu ini titipan yang
paling sempurna yang telah Tuhan beri, termasuk memiliki kamu, yah. Aku takkan
pernah tahu apa jadinya aku tanpa kamu. Kamu memberikan semua kebebasan itu,
ikhlas menerima semuanya dan tetap untuk bersamaku hingga Rahma akan menikah.”
“Kita memang hidup serba
berkecukupan tapi memiliki Rahma saat itu membuat hidup kita lebih dari cukup.”
Dena, terus menerus meneteskan air mata. Dia terus
menyandarkan kepalanya padaku. Ini mengapa aku begitu takut kehilangan.
“Percaya
padaku, Den. Semua akan berakhir indah.”
Tuktuk...
“Ini aku
Rahma yah bun..”
Rahma memeluk kami erat sekali. Sesekali dia menatap
kami. Menghapus air mata yang jatuh di pipi kami dengan tangannya.
“Sampai
kapanpun, Rahma akan tetap mencintai kalian. Apapun keadaannya
Rahma akan
tetap ada di sini. Percaya padaku, walau nanti aku jauh tapi kalian
akan tetap
di hatiku. Karena aku selalu berdoa agar selalu dekat dengan kalian.”
***
Dua bulan terasa begitu cepat. Besok hari pernikahan
anakku. Dia tampak tetap tenang. Semua persiapannya sudah matang. Aku hanya
mempersiapkan mental dan hatiku untuk hari bahagia Rahma.
“Yah,
doakan aku besok ya.. Aku gak ingin lihat ayah dan ibu sedih. Besok kita
harus
bahagia ya.. Maafkan aku kalau selama 25 tahun ini selalu menyusahkan
ayah,
membuat ayah harus mengakurkan aku dan bunda kalau lagi berantem.” Dia
tersenyum manis sekali.
“Iya
anakku.... Kayaknya ayah jarang-jarang nih liat kalian berantem” sambil
kupegang
kepalanya.
“Ah...
ayah”
“Bunda...
Maafkan aku kalau selama ini kita selalu sering berantem, buat bunda
ngambek
karena sering ledek-ledekan dengan Bunda, terus bunda kalah ngambek
deh”
“Rahma...
Bunda hanya menitipkan ini” ku letakkan tanggannya tepat di dadanya
“Bunda
nitip, supaya kamu selalu jaga hatimu dimana pun kamu berada. Tetaplah
istiqamah.
Jadilah perempuan yang hebat untuk suami dan anak-anakmu. Selalu
perbaiki
diri dalam hal apapun..”
“Iya
bunda... aku selalu ingat semua pesan-pesan bunda. Selalu tersimpan disini,
hati dan
pikiranku.. Aku ingin sepertimu, Bunda. Wanita hebat dan tegar.”
Airmata keduanya tiba-tiba jatuh. Rahma memegang
tangan Dena dan memeluknya erat. Tuhan, rasanya kebahagian ini rasanya terlalu
cepat berlalu. Aku berharap ini tetap ada di keluargaku.
***
“Doakan
aku Ayah!”
Itu kata-kata yang pagi ini aku dengar. Dia terlihat
sangat cantik mengenakan kebaya berwarna abu-abu. Tuhan berilah aku kekuatan,
sekuat perjalanan hidup ini. Fajar tampak gagah bersiap untuk menyunting putri
kesayanganku. Fajar terlihat begitu gugup dan cemas. Prosesi akad nikah tinggal sejam lagi. Aku
belum lagi melihat putriku. Aku duduk diantara barisan keluarga. Perasaan
deg-degan muncul dari tadi subuh hingga saat ini.
Fajar kini duduk di antara penghulu, wali dan juga
para saksi. Hatiku semakin tak menentu. Ya Tuhan aku harus kuat.
“Ingat ya
yah, ayah jangan tegang dan tetap kuat. Aku mencintaimu.”
Rahma, rasanya ayah begitu tak kuasa. Diapun keluar
dari kamarnya duduk bersanding tepat disebelah Fajar. Prosesi akan segera
dimulai.
Aku duduk di depan Fajar. Menatap keduanya begitu
bahagia. Akupun berurai air mata. Istrikupun demikian. Fajar menjabatkan tangannya. Wali hakimpun
menerima jabatan tangannya.
“Tuhan,
aku tahu ini tak mudah untukku, tapi ijinkan aku untuk tetap tersenyum
dihadapan
mereka. Memberikan doa yang tulus. Merawat, membesarkan,
menjaga
dan menyekolahkannya sudah aku lakukan hingga mengantarkannya ke
hari
pernikahnnya. Semua ini hanya titipanmu yang harus aku jaga.”
“Bagi
orang lain ini terlihat aneh. Mengapa bukan aku yang berjabat tangan
dengan
Fajar. Iya, aku bukanlah ayah kandung Rahma. Kami hanya dititipkan
Tuhan
untuk menjaganya dari bayi hingga dewasa. Istriku, Dean tidak bisa
memberikan
aku keturunan. Tapi aku tak pernah
menyesali karena aku telah
memilihnya
untuk mendampingi sepanjang hidupku. Aku bahagia memiliki istri
seperti
dirinya. Kuat, tegar dan ikhlas. Bagiku dia istri yang luar biasa.“
“Mungkin
hari ini adalah hari terberat yang harus dia rasakan, melepas putri
kesayangannya.
Sekali lagi aku bahagia karena memiliki Dean dan Rahma.”
Fajar mengucapkan dengan sangat fasih. Aku melihat
Rahma menatapku lama sekali. Mengisyaratkan bahwa, dia akan baik-baik saja.
Setelah selesai, Rahma beurai air mata sesekali dia menatapku dan memberikan
senyuman.
“Ayah,,,
terima kasih banyak. Aku pernah berharap ayahlah yang bisa menjabat tangan Fajar. Melepaskanku dan
memberikanku pada Fajar, tapi aku tahu Tuhan selalu
memberikan kebahagian yang tak pernah diduga oleh kita. Ayah dan Bunda tahu tidak
apa itu? Memiliki kalian itu hal yang paling indah yang tak pernah terpikirkan
olehku. Aku tahu dan aku menerimanya dengan penuh kebahagiaan. Terima
kasih atas semua pelajaran hidupnya. Aku
ingin sepertimu, Bunda. Sekuat batu
karang menghadapi kerasnya kehidupan. Aku ingin sepertimu, Ayah. Setulus engkau
mencintai bidadari-bidadari hidupmu.”
Itu mengapa aku selalu bersyukur walau aku selalu
berharap aku bisa menikahkan anakku sendiri. Tuhan punya rencana yang jauh
lebih indah dari hari ini. J
Aku menitipkannya padamu, Fajar. Jaga dia seperti
aku menjaganya. Menjaga hati dan senyumnya...
gambar dari: https://gedubar.com/wp-content/uploads/2016/12/kaper-ayah.jpg
Arti sebuah ketulusan yaaa.. Gak nyangka ternyata bukan ayahnya :)
BalasHapus@nhae: mba...terima kasih ya sudah berkunjung.. hihii iyaaa
BalasHapusbegitu yaa perasaan orangtua ketika anaknya menikah. Saya kepikiran, tapi tak sedalam itu... Salam kenal
BalasHapusAhh...so sweet..walopun ternyata bukan anak kandung 😢
BalasHapusTatat
@immaimang: huhu iya.. terima kasih sudah berkunjung
BalasHapus@mb tatat: hehehe iya. mencari sesuatu yg berbeda :)